Foto-foto: M. Fathulloh Hasan
Teringat ketika di bangku SD, guru kami menjelaskan tentang kondisi Gunung Bromo yang masih mengeluarkan asap. Sementara, budaya Suku Tengger menjadi selimut keanekaragaman di gunung itu.
Awal November, kami berkesempatan melihat ciptaan Tuhan yang sangat agung di Probolinggo, Jawa Timur. Kami menyebutnya “agung” karena lanskap naturalnya yang membawa pada khasanah keindahan alam Indonesia. Bromo menjadi salah satu tempat terindah yang layak dikunjungi para pengunjung seantero dunia, khususnya masyarakat Indonesia.
Menjadi salah satu tujuan wisata utama bagi para turis dunia, Bromo memiliki eksotisme yang luar biasa. Sensasi alamnya membawa kita pada sebuah pesona alam, anugerah Tuhan yang pantas untuk dilestarikan dan dijaga eksistensinya.
Kurang lebih selama 3 jam kami mengendarai “Bison” dari Kota Probolinggo, hingga akhirnya tiba di lereng Gunung Bromo. Sepanjang perjalanan, lika-liku keindahan alamnya perlahan mulai terasa. Jauh berbeda dengan yang pernah kami rasakan di Puncak Bogor.
Puncak Bogor memiliki jalur berkendara yang cukup bagus, dapat dilewati oleh bus-bus besar, dan hamparan pemandangan kebun teh yang hijau. Sementara, Jalur Sukapura Probolinggo lebih terjal, sempit, adanya jurang yang curam, batu-batu besar di pinggir jalan, dan kebun daun bawang yang membentang luas dengan rumah-rumah kecil atau sekolah di tepian bukit.
Jalur yang kami lalui, semakin lama semakin menanjak. Dengan kondisi jalan yang lebarnya kurang dari 3 meter, berkelok-kelok membuat kami sedikit pusing dan cukup melelahkan. Apalagi dinginnya, so pasti lebih dingin dan berkabut dibanding Puncak Bogor.
Akhirnya kami tiba di penginapan yang disebut “homestay” oleh penduduk lokal. Penginapan ini berupa rumah penduduk berukuran besar, yang di dalamnya terdapat kamar-kamar untuk disewakan. Bagi kami, cukup nyaman dan aman lah selama disana, karena pemilik rumahnya ramah dan menghormati kami sebagai muslim.
Di sore yang redup itu, kami berjalan menuju pelataran yang tidak jauh dari beberapa hotel dan bar. Dari pelataran itu, kami dapat melihat langsung indahnya hamparan lautan pasir membentang, membentuk gunung-gunung kecil. Bromo tidak sendiri, tetapi ditemani pegunungan atau perbukitan yang menjulang tinggi dan dijadikan sebagai tempat pendakian untuk menikmati indahnya sunrise dan sunset.
Sensasi sunset di kawah Bromo
Hari yang sangat redup, mendung yang tak terbuka, kabut pun semakin tebal membuat kami tidak bisa menikmati sunset saat itu. Bercengkrama dengan masyarakat Suku Tengger menjadi salah satu alternatif kami untuk mengetahui kondisi Bromo lebih dekat.
Akhirnya kami diminta oleh mereka untuk naik menuju Bromo pada sore hari itu juga. Sepi dan sunyi menemani kami menuju lautan pasir dan kawah Bromo. Hanya ada kami serta beberapa turis lokal yang sedikit ngos-ngosan untuk menaiki tangga menuju kawah Bromo saat itu.
Sebelum naik ke kawah, kami mencoba melihat Pura tempat biasa dilangsungkannya upacara tahunan “Kesodo“ oleh masyarakat Suku Tengger. Seorang pemuda menjelaskan pada kami bahwa upacara Kesodo dilaksanakan setahun sekali dan biasanya dihadiri oleh masyarakat Hindu seluruh Indonesia.
Sampailah kami di kawah Bromo dengan kondisi yang sepi karena hanya ada kami berlima disana (dua orang Ceko, saya, teman saya, dan seorang penduduk lokal yang sedang menjual bunga edelweis kering), pengunjung lainnya sudah turun menuju penginapan. Subhanallah, kami takjub, bersyukur dan terharu karena bisa menggapai mimpi, berdiri di atas Gunung Bromo. Teman kami sempat teriak-teriak, sesekali menyebut takbir seraya bersyukur berada diatas gunung yang sangat eksotis di Kabupaten Probolinggo ini.
Beberapa menit di atas Gunung Bromo, kami pun merasa kedinginan. Rintik-rintik hujan bercampur aroma belerang yang keluar bersamaan dengan asap dari kawah Gunung Bromo turut menemani kami. Cukuplah kami jebrat-jebret mengabadikan momen terindah.
Akhirnya, kami turun sambil menikmati pemandangan. Gunung Batok, Gunung Semeru, Gunung Arjuno, dan perbukitan hijau nampak dari kejauhan mengarahkan sorot mata kami. Terlihat pula aneka ukiran unik dan lucu dari para pengunjung yang mengabadikan namanya di bukit-bukit pasir.
Sekembalinya dari Bromo, kami pun sempat repot mencari musholla dan tempat makanan yang halalan thayyibah. Duh, bener banget kata teman-teman yang sudah berkunjung kesana sebelumnya. Masyarakat Suku Tengger hampir 99.5 % beragama Hindu.
Budaya masyarakat Suku Tengger sama seperti masyarakat Hindu Bali. Adanya Pura, bukan Masjid sehingga kami pun harus sholat di tempat penginapan yang alhamdulillah pemiliknya memiliki sajadah sebagai alas sholat.
Memburu sunrise ala Bromo
Jam 3 pagi, kamar kami diketok oleh mas-mas yang akan membawa menuju Penanjakan 2 untuk menikmati sunrise. Sedikit ngantuk, kami pun harus sholat Shubuh dulu kemudian keluar rumah untuk berangkat menuju penanjakan dengan menggunakan mobil jeep berwarna pink. Jaket tebal, sarung tangan, tutup kepala sudah kami siapkan tuk mengantisipasi dinginnya angin pagi lereng pendakian.
Duduk disamping sopir, terdengar suara–suara asing dari belakang. Eh, ternyata kami serombongan dengan bule-bule, lho! Ada yang dari Belanda, Perancis & Italia, but their English is also excellent. Pukul 4.30 kami sudah tiba di Penanjakan 1. Berduyun-duyun kami menapaki anak tangga bersama para turis asing yang tak pakai baju tebal sedikitpun menuju Penanjakan 2. “Hurry up.. hurry up,” terdengar sesekali muncul disela-sela urutan bule yang menuju ke atas Penanjakan 2.
Agar tidak telat, kita harus buru-buru sampai di Penanjakan 2 untuk menikmati sunrise secara maksimal. Setibanya disana , wow, turis asing mendominasi tempat itu. Hanya segelintir orang Indonesia disana dan umumnya merupakan mahasiswa. Kagum, senang,happy bercampur jadi satu. Sedikit kekecewaan bagi saya, karena hanya sedikit orang Indonesia yang menikmati indahnya sunrise pada pagi itu.
Antusiasme turis asing untuk menghabiskan waktu liburannya di Bromo sangat tinggi sekali. Bahkan kami pun sempat mengutip salah satu ucapan turis dari Kanada , he said “I’ve planned to spend my holiday to Bromo for a long long time ago, after reading ‘The Discovery of Indonesia’ book. I’m interested to choose Indonesia as my traveling destination. Indonesia consists of Bali, Lombok, Bromo, Yogyakarta and Bunaken. I’ll get in touch that all.” Dia menambahkan, “Bromo is really wonderful, and has the same condition as the mountain that I used to visit in New Zealand.”
Menurut para pedagang nasi dan gorengan di lautan pasir gunung Bromo, yang notabene masyarakat Suku Tengger, pada bulan Agustus, September, Oktober, November menjadi bulan kunjungan alias bulan-bulan yang sangat ramai karena banyak turus asing yang berkunjung pada saat itu. European, American, dan Australian yang paling banyak, hanya sedikit turis Asia, Chinese, Japanese, Arabian and Southeast Asian.
Bromo tidak hanya menyuguhkan pemandangan yang indah, tetapi juga memberikan berjuta-juta manfaat bagi masyarakat Suku Tengger. Mulai dari mengais uang receh hingga Dollar Amerika. Mereka pun menyediakan semua fasilitas bagi para pengunjung, mulai dari kendaraan jeep, berkuda, hingga ojek motor.
Sudah menjadi peraturan adat Suku Tengger, bahwa pendatang yang tidak ada garis keturunan Suku Tengger tidak diperkenankan untuk mengelola bisnis atau kegiatan ekonomi yang sifatnya komersial.
Komitmen mereka untuk mempertahankan adatnya dari gerusan modernisasi sangat kuat, sehingga penduduknya tetap utuh, menyatu dan semakin besar. Padahal pengaruh budaya asing yang masuk ke wilayah Suku Tengger sangat besar, karena dari tahun ke tahun turis asing yang datang kesana juga kian meningkat.
Satu hal yang membuat kami terkagum-kagum, orang Tengger banyak yang bisa bahasa asing, lho! Mulai dari tukang jualan kopi, pemandu kuda tunggang, penjual kaos suvenir hingga penjaga toilet umum, meskipun sedikit-sedikit, mereka mampu berbahasa asing (Inggris, Jerman, Perancis, Belanda). Mereka mampu mengimbangi percakapan yang banyak dilakukan bule- bule disana. Subhanallah, hebat ya! Mereka bisa mengambil manfaat yang berarti dari para bule, dari tahun ke tahun dan tanpa harus les bahasa, hmm..
Eksotisme Bromo tak ada matinya! Dikombinasi dengan damainya masyarakat Suku Tengger, menjadikan makna tersendiri bagi para pengunjung untuk tinggal lebih lama, dan ingin kembali melihat pemandangan alamnya. Bromo menjadi kenangan dan pengalaman indah bagi kami. Menyuguhkan pemandangan alam yang tak layak untuk dilewatkan, sebagai wujud syukur nikmat kami bisa melihat indahnya ciptaan Allah yang agung. Let’s visit Bromo, Probolinggo, East Java!
M. Fathulloh Hasan Jl. Merapi Raya, Mas Naga, Bintara Jaya, Bekasi Barat, Kota Bekasi
Awal November, kami berkesempatan melihat ciptaan Tuhan yang sangat agung di Probolinggo, Jawa Timur. Kami menyebutnya “agung” karena lanskap naturalnya yang membawa pada khasanah keindahan alam Indonesia. Bromo menjadi salah satu tempat terindah yang layak dikunjungi para pengunjung seantero dunia, khususnya masyarakat Indonesia.
Menjadi salah satu tujuan wisata utama bagi para turis dunia, Bromo memiliki eksotisme yang luar biasa. Sensasi alamnya membawa kita pada sebuah pesona alam, anugerah Tuhan yang pantas untuk dilestarikan dan dijaga eksistensinya.
Kurang lebih selama 3 jam kami mengendarai “Bison” dari Kota Probolinggo, hingga akhirnya tiba di lereng Gunung Bromo. Sepanjang perjalanan, lika-liku keindahan alamnya perlahan mulai terasa. Jauh berbeda dengan yang pernah kami rasakan di Puncak Bogor.
Puncak Bogor memiliki jalur berkendara yang cukup bagus, dapat dilewati oleh bus-bus besar, dan hamparan pemandangan kebun teh yang hijau. Sementara, Jalur Sukapura Probolinggo lebih terjal, sempit, adanya jurang yang curam, batu-batu besar di pinggir jalan, dan kebun daun bawang yang membentang luas dengan rumah-rumah kecil atau sekolah di tepian bukit.
Jalur yang kami lalui, semakin lama semakin menanjak. Dengan kondisi jalan yang lebarnya kurang dari 3 meter, berkelok-kelok membuat kami sedikit pusing dan cukup melelahkan. Apalagi dinginnya, so pasti lebih dingin dan berkabut dibanding Puncak Bogor.
Akhirnya kami tiba di penginapan yang disebut “homestay” oleh penduduk lokal. Penginapan ini berupa rumah penduduk berukuran besar, yang di dalamnya terdapat kamar-kamar untuk disewakan. Bagi kami, cukup nyaman dan aman lah selama disana, karena pemilik rumahnya ramah dan menghormati kami sebagai muslim.
Di sore yang redup itu, kami berjalan menuju pelataran yang tidak jauh dari beberapa hotel dan bar. Dari pelataran itu, kami dapat melihat langsung indahnya hamparan lautan pasir membentang, membentuk gunung-gunung kecil. Bromo tidak sendiri, tetapi ditemani pegunungan atau perbukitan yang menjulang tinggi dan dijadikan sebagai tempat pendakian untuk menikmati indahnya sunrise dan sunset.
Sensasi sunset di kawah Bromo
Hari yang sangat redup, mendung yang tak terbuka, kabut pun semakin tebal membuat kami tidak bisa menikmati sunset saat itu. Bercengkrama dengan masyarakat Suku Tengger menjadi salah satu alternatif kami untuk mengetahui kondisi Bromo lebih dekat.
Akhirnya kami diminta oleh mereka untuk naik menuju Bromo pada sore hari itu juga. Sepi dan sunyi menemani kami menuju lautan pasir dan kawah Bromo. Hanya ada kami serta beberapa turis lokal yang sedikit ngos-ngosan untuk menaiki tangga menuju kawah Bromo saat itu.
Sebelum naik ke kawah, kami mencoba melihat Pura tempat biasa dilangsungkannya upacara tahunan “Kesodo“ oleh masyarakat Suku Tengger. Seorang pemuda menjelaskan pada kami bahwa upacara Kesodo dilaksanakan setahun sekali dan biasanya dihadiri oleh masyarakat Hindu seluruh Indonesia.
Sampailah kami di kawah Bromo dengan kondisi yang sepi karena hanya ada kami berlima disana (dua orang Ceko, saya, teman saya, dan seorang penduduk lokal yang sedang menjual bunga edelweis kering), pengunjung lainnya sudah turun menuju penginapan. Subhanallah, kami takjub, bersyukur dan terharu karena bisa menggapai mimpi, berdiri di atas Gunung Bromo. Teman kami sempat teriak-teriak, sesekali menyebut takbir seraya bersyukur berada diatas gunung yang sangat eksotis di Kabupaten Probolinggo ini.
Beberapa menit di atas Gunung Bromo, kami pun merasa kedinginan. Rintik-rintik hujan bercampur aroma belerang yang keluar bersamaan dengan asap dari kawah Gunung Bromo turut menemani kami. Cukuplah kami jebrat-jebret mengabadikan momen terindah.
Akhirnya, kami turun sambil menikmati pemandangan. Gunung Batok, Gunung Semeru, Gunung Arjuno, dan perbukitan hijau nampak dari kejauhan mengarahkan sorot mata kami. Terlihat pula aneka ukiran unik dan lucu dari para pengunjung yang mengabadikan namanya di bukit-bukit pasir.
Sekembalinya dari Bromo, kami pun sempat repot mencari musholla dan tempat makanan yang halalan thayyibah. Duh, bener banget kata teman-teman yang sudah berkunjung kesana sebelumnya. Masyarakat Suku Tengger hampir 99.5 % beragama Hindu.
Budaya masyarakat Suku Tengger sama seperti masyarakat Hindu Bali. Adanya Pura, bukan Masjid sehingga kami pun harus sholat di tempat penginapan yang alhamdulillah pemiliknya memiliki sajadah sebagai alas sholat.
Memburu sunrise ala Bromo
Jam 3 pagi, kamar kami diketok oleh mas-mas yang akan membawa menuju Penanjakan 2 untuk menikmati sunrise. Sedikit ngantuk, kami pun harus sholat Shubuh dulu kemudian keluar rumah untuk berangkat menuju penanjakan dengan menggunakan mobil jeep berwarna pink. Jaket tebal, sarung tangan, tutup kepala sudah kami siapkan tuk mengantisipasi dinginnya angin pagi lereng pendakian.
Duduk disamping sopir, terdengar suara–suara asing dari belakang. Eh, ternyata kami serombongan dengan bule-bule, lho! Ada yang dari Belanda, Perancis & Italia, but their English is also excellent. Pukul 4.30 kami sudah tiba di Penanjakan 1. Berduyun-duyun kami menapaki anak tangga bersama para turis asing yang tak pakai baju tebal sedikitpun menuju Penanjakan 2. “Hurry up.. hurry up,” terdengar sesekali muncul disela-sela urutan bule yang menuju ke atas Penanjakan 2.
Agar tidak telat, kita harus buru-buru sampai di Penanjakan 2 untuk menikmati sunrise secara maksimal. Setibanya disana , wow, turis asing mendominasi tempat itu. Hanya segelintir orang Indonesia disana dan umumnya merupakan mahasiswa. Kagum, senang,happy bercampur jadi satu. Sedikit kekecewaan bagi saya, karena hanya sedikit orang Indonesia yang menikmati indahnya sunrise pada pagi itu.
Antusiasme turis asing untuk menghabiskan waktu liburannya di Bromo sangat tinggi sekali. Bahkan kami pun sempat mengutip salah satu ucapan turis dari Kanada , he said “I’ve planned to spend my holiday to Bromo for a long long time ago, after reading ‘The Discovery of Indonesia’ book. I’m interested to choose Indonesia as my traveling destination. Indonesia consists of Bali, Lombok, Bromo, Yogyakarta and Bunaken. I’ll get in touch that all.” Dia menambahkan, “Bromo is really wonderful, and has the same condition as the mountain that I used to visit in New Zealand.”
Menurut para pedagang nasi dan gorengan di lautan pasir gunung Bromo, yang notabene masyarakat Suku Tengger, pada bulan Agustus, September, Oktober, November menjadi bulan kunjungan alias bulan-bulan yang sangat ramai karena banyak turus asing yang berkunjung pada saat itu. European, American, dan Australian yang paling banyak, hanya sedikit turis Asia, Chinese, Japanese, Arabian and Southeast Asian.
Bromo tidak hanya menyuguhkan pemandangan yang indah, tetapi juga memberikan berjuta-juta manfaat bagi masyarakat Suku Tengger. Mulai dari mengais uang receh hingga Dollar Amerika. Mereka pun menyediakan semua fasilitas bagi para pengunjung, mulai dari kendaraan jeep, berkuda, hingga ojek motor.
Sudah menjadi peraturan adat Suku Tengger, bahwa pendatang yang tidak ada garis keturunan Suku Tengger tidak diperkenankan untuk mengelola bisnis atau kegiatan ekonomi yang sifatnya komersial.
Komitmen mereka untuk mempertahankan adatnya dari gerusan modernisasi sangat kuat, sehingga penduduknya tetap utuh, menyatu dan semakin besar. Padahal pengaruh budaya asing yang masuk ke wilayah Suku Tengger sangat besar, karena dari tahun ke tahun turis asing yang datang kesana juga kian meningkat.
Satu hal yang membuat kami terkagum-kagum, orang Tengger banyak yang bisa bahasa asing, lho! Mulai dari tukang jualan kopi, pemandu kuda tunggang, penjual kaos suvenir hingga penjaga toilet umum, meskipun sedikit-sedikit, mereka mampu berbahasa asing (Inggris, Jerman, Perancis, Belanda). Mereka mampu mengimbangi percakapan yang banyak dilakukan bule- bule disana. Subhanallah, hebat ya! Mereka bisa mengambil manfaat yang berarti dari para bule, dari tahun ke tahun dan tanpa harus les bahasa, hmm..
Eksotisme Bromo tak ada matinya! Dikombinasi dengan damainya masyarakat Suku Tengger, menjadikan makna tersendiri bagi para pengunjung untuk tinggal lebih lama, dan ingin kembali melihat pemandangan alamnya. Bromo menjadi kenangan dan pengalaman indah bagi kami. Menyuguhkan pemandangan alam yang tak layak untuk dilewatkan, sebagai wujud syukur nikmat kami bisa melihat indahnya ciptaan Allah yang agung. Let’s visit Bromo, Probolinggo, East Java!
M. Fathulloh Hasan Jl. Merapi Raya, Mas Naga, Bintara Jaya, Bekasi Barat, Kota Bekasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar